Pokja Perkuat Pengelolaan Hutan Kemenyan, Upaya Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca

Pokja Penurunan Emisi GRK melihat budidaya kemenyan di Desa Simardangiang, Kecamatan Pahae Hulu, Kabupaten Tapanuli Utara. (Istimewa/NET Medan)

Pokja Penurunan Emisi GRK melihat budidaya kemenyan di Desa Simardangiang, Kecamatan Pahae Hulu, Kabupaten Tapanuli Utara. (Istimewa/NET Medan)

NET Medan – Kelompok Kerja Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Provinsi Sumatera Utara (Pokja Penurunan Emisi GRK) kunjungan lapangan ke Desa Simardangiang, Kecamatan Pahae Hulu, Kabupaten Tapanuli Utara pada Jumat 9 Mei 2025.

Pokja Penurunan Emisi GRK dibentuk melalui Surat Keputusan Gubernur Sumut. Kunjungan ini bertujuan untuk mendalami praktik pengelolaan hutan oleh masyarakat adat sekaligus meninjau potensi implementasi kegiatan REDD+ berbasis komunitas.

Dalam kunjungan ini, Pokja bersama tenaga ahli REDD+ Provinsi Sumatera Utara, Dr. Solichin Manuri dan Sarah Agustiorini. Serta akademisi dari Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara, yakni Prof. Rahmawaty, Ph. D dan Dr. Bejo Slamet, M.Si.

Yayasan Pesona Tropis Alam Indonesia (PETAI) sebagai lembaga perantara (lemtara) Program Result-Based Payment (RBP) REDD+ di Sumut memfasilitasi kunjungan ini.

Direktur PETAI, Masrizal Saraan, menjelaskan, kunjungan lapangan Pokja Penurunan Emisi GRK ini menjadi langkah awal dalam memperkuat integrasi pengetahuan lokal dengan pendekatan ilmiah.

“Tentunya dalam upaya menurunkan emisi berbasis lahan secara partisipatif dan berkelanjutan di Sumatera Utara,” sebut Masrizal dalam keterangannya, Jumat 16 Mei 2025.

Baca: DLHK – PETAI Perkuat Mitigasi Susun Peta Kerawanan Karhutla di Sumut

Pokja Penurunan Emisi GRK melihat langsung kemenyan yang berperan besar dalam penurunan emisi gas rumah kaca. (Istimewa/NET Medan)
Pokja Penurunan Emisi GRK melihat langsung kemenyan yang berperan besar dalam penurunan emisi gas rumah kaca. (Istimewa/NET Medan)

Kepala Desa Simardangiang, Tampan Sitompul, yang menyambut kedatangan tim menjelaskan bahwa desa seluas sekitar 6.000 hektare ini sebagai salah satu sentra penghasil getah haminjon (kemenyan) di wilayah Tapanuli.

Jenis kemenyan yang dibudidayakan masyarakat adalah Haminjon Toba dan Haminjon Gurame. Kemenyan menjadi komoditas utama yang menopang ekonomi mayoritas penduduk—sekitar 99% dari 204 Kepala Keluarga (KK) di desa ini.

Pokja Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Lakukan Pendekatan Ilmiah

Masyarakat Simardangiang mempraktikkan sistem agroforestry, mengombinasikan pohon kemenyan dengan tanaman seperti petai, kakao, jengkol, dan durian. Namun, selama dua tahun terakhir, durian tidak lagi berbuah, dan masyarakat belum menemukan penyebabnya.

Baca: DLH-PETAI Targetkan Sumut Tambah 100 Lokasi ProKlim Tahun 2025

Penyadapan kemenyan berdasarkan kriteria tertentu. Panen jenis Haminjon Toba pada Mei hingga Juli, tandanya dengan adanya bunga. Sementara panen Haminjon Gurame sepanjang tahun dan tandanya dari kondisi daunnya.

“Satu KK bisa memiliki ribuan batang, dan satu pohon menghasilkan sekitar setengah kilogram getah per tahun,” jelas Kepala Desa Tampan Sitompul.

Katanya, masyarakat menjual getah langsung kepada para pengepul (toke) dengan harga fluktuatif, saat ini sekitar Rp60.000/kg untuk kualitas nomor tiga.

Desa Simardangiang telah memperoleh pengakuan sebagai Masyarakat Hukum Adat (MHA) melalui SK dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada Agustus 2024. Setelah sebelumnya penetapan melalui Peraturan Daerah oleh Bupati.

Organisasi Gerakan Jaga Indonesia (GJI) turut mendampingi proses ini. Saat ini, satu kelompok MHA tengah menyiapkan pembentukan Kelompok Tani Hutan untuk mengelola area seluas 2.917 hektare.

Read Previous

Indonesia – Australia Tegaskan Komitmen Wujudkan Perdamaian dan Kemakmuran Regional

Read Next

Wisuda Universitas HKBP Nommensen Siantar, Ephorus Kagum Ada Mahasiswa Muslim

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *