Teror Bom Lagi, Pesawat Saudi Arabian Airlines Mendarat Darurat di Bandara Kualanamu
NET Medan – Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Sumatera Utara (Sumut) bekerja sama Yayasan Pesona Tropis Alam Indonesia (PETAI) bahas hasil awal Kajian Spasial Tutupan Lahan Sumut Periode 2006–2023.
Pembahasan ini dalam Focus Group Discussion (FGD) DLHK Sumut – PETAI ini membahas yang bertujuan menghimpun masukan strategis dari para pemangku kepentingan lintas sektor. Ini untuk mendukung perumusan kebijakan tata kelola lahan yang berbasis data, inklusif, dan berkelanjutan.
Normalia Zubair, S.STP, mewakili Kepala DLHK Sumut FGD membuka secara resmi FGD ini. Dalam sambutannya, ia menekankan pentingnya keterlibatan aktif seluruh peserta untuk memberikan masukan yang konstruktif terhadap draf kajian yang tengah dalam penyusunan.
“Proses ini adalah bagian dari ikhtiar kita bersama untuk memastikan bahwa tata kelola tutupan lahan di Sumatera Utara dibangun atas dasar kolaborasi dan keilmuan,” ujarnya, dalam keterangan diperoleh Ahad 22 Juni 2025.
Baca: BPDLH Lakukan On-Site Monitoring dan Evaluasi Program RBP GCF Output 2 di Sumut
Kegiatan ini melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Termasuk perwakilan dari instansi pemerintah, Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH), Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (BBTNGL).
Kemudian Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara (USU), serta lembaga swadaya masyarakat. Keberagaman peserta diharapkan mampu memperkaya perspektif dan memperdalam diskusi lintas sektor dalam penyusunan kajian.
Ada 2 narasumber utama turut memberikan paparan. Pertama, Tumpak Dolok Siregar dari DLHK Sumut menyampaikan sejumlah tantangan yang dalam menjaga tutupan lahan. Termasuk tekanan alih fungsi lahan, lemahnya sistem pengawasan, serta ketidaksinkronan tata ruang.
Baca: Pokja Perkuat Pengelolaan Hutan Kemenyan, Upaya Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca
FGD DLHK Sumut – PETAI untuk Pengelolaan Bentang Alam
Kedua, Dr. Bejo Slamet dari Fakultas Kehutanan USU, menegaskan pentingnya kajian ini sebagai instrumen ilmiah untuk memantau dinamika perubahan tutupan lahan. Sekaligus sebagai elemen pendukung dalam penyusunan dokumen REDD+ di tingkat provinsi.
Direktur Eksekutif Yayasan PETAI, Masrizal Saraan menyampaikan, kajian spasial tutupan lahan merupakan langkah penting untuk membangun kesadaran kolektif dan menyatukan data dalam satu narasi pengelolaan bentang alam yang lebih baik.
“Kami melihat perubahan tutupan lahan bukan sekadar persoalan teknis. Tetapi mencerminkan dinamika sosial, ekonomi, dan kebijakan yang harus ditanggapi secara sistematis. Hasil kajian ini akan kami dorong untuk menjadi dasar bagi kebijakan tata kelola lahan yang lebih adaptif dan kolaboratif. Terutama dalam konteks krisis iklim dan agenda FOLU Net Sink 2030,” jelas Masrizal.
Harapan dari FGD ini menghasilkan pemahaman bersama mengenai tren perubahan tutupan lahan di Sumut selama hampir dua dekade terakhir. Serta merumuskan rekomendasi awal yang strategis dan aplikatif.
Seluruh hasil diskusi akan ini sebagai landasan dalam finalisasi dokumen kajian. Selanjutnya menjadi rujukan dalam pengambilan kebijakan pembangunan berbasis kehutanan dan lingkungan hidup di tingkat provinsi.